Rabu, 12 Maret 2014

menjadi rajawali.. [being an eagle]

Di sebuah hutan, tersebutlah keluarga Parkit. Keluarga ini dikenal oleh bangsa burung, sebagai salah satu “marga” penyemangat pagi. Setiap pagi keluarga mereka bertugas untuk bernyanyi. Mendendangkan lagu-lagu semangat.

Suara mereka tak seindah keluarga Cucak. Nafas mereka tak sepanjang burung Beo, tapi kicauan berkelompok keluarga Parkit membuat isi hutan tiap pagi bergerak lincah.



Harmoni semua burung dihutan itu di bawah tanggung jawab raja burung, dialah Rajawali. Semua burung muda yang telah mampu terbang, dididik oleh Rajawali untuk menjaga harmoni hutan. Termasuk diantaranya seekor Parkit muda.


Parkit muda itu sungguh kagum dengan figur Sang Rajawali. Matanya tajam, tubuhnya tegap, terbangnya gagah. Rajawali adalah burung yg karismatik. Kekaguman dalam hatinya lambat laun tumbuh menjadi sebuah keinginan.

Parkit muda, mulai meniru gaya Rajawali. Ia selalu mengamati perilaku Rajawali. Parkit muda memulai belajar berdiri tegap dengan dada membusung. Matanya ia tajam-tajamkan. Kemana Rajawali terbang, Parkit muda mengikutinya. Ia mulai belajar terbang tinggi, lama dan tenang. Ia lakukan walaupun sungguh tak mudah.

Melihat hal itu, Rajawali tertarik dan menemui Parkit muda yang bertengger di pohon mengamatinya, “ Anak muda, kau selalu mengikutiku. Meniruku, apa yg kau inginkan ?”
“ Aku kagum kepadamu Raja…, aku ingin menjadi sepertimu. Ijinkan aku berguru kepadamu.”

Rajawali berfikir sejenak, lalu berkata “ Baiklah Parkit muda, jika kau serius. Aku ajari kau menjadi sepertiku… “. Parkit muda sangat senang mendengarnya.

Hari demi hari Parkit muda mengikuti training dari Rajawali. Dimulai dengan cara berdiri, menatap, terbang, dan mencengkeram. Hingga sebulan Parkit muda mulai terbentuk figurnya seperti Rajawali. Walaupun ukuran tubuhnya tak sebesar gurunya.

“Engkau telah kuajari mencengkeram. Sekarang aku ajarkan inti menjadi Rajawali. Aku adalah penjaga keseimbangan. Maka makananku adalah binatang yang mengancam kelangsungan bangsa burung. Jika mereka banyak, maka menjadi ancaman bagi burung.” Kata Rajawali suatu hari.
“ Siap Guru “ kata Parkit muda semangat.
“ Buruan pertama kita adalah tikus. Mereka adalah ancaman bagi keluarga puyuh.”
“ Baik Guru!“

Mereka terbang bersama, mencari mangsa. Walaupun amat kesulitan, mata Parkit muda akhirnya menemukan tikus yang sedang berlarian di padang rumput.

“ Itu Guru, ada tikus”
“ Tangkap sebelum masuk ke pepohonan, lakukan sekarang “

Parkit muda segera melakukan perintah gurunya. Ia segera menukik dan menyambar tikus yang ternyata dua kali lebih besar darinya. Walau kaget setelah mendekat, tapi Parkit muda itu nekat. Cengekramannya di punggung tikus mendapat perlawanan. Mereka bertarung di padang rumput.

Jelas saja tikus unggul, posisi berbalik. Parkit siap menjadi santapan tikus. Melihat muridnya hampir tewas, Rajawali menyambar Tikus. Dengan sekali cengkeram tikus tewas. Lalu Rajawali mendekati Parkit muda sembari menenteng buruannya.

“ Kau tidak apa-apa Parkit muda?”
“ Iya Guru, saya baik-baik saja!“. Kata Parkit sempoyongan lemah tak berdaya. Beberapa bagian tubuhnya luka-luka.
“ Berdirilah, berburu memang tidak mudah. Tak apa kali ini gagal, sekarang aturan alam harus kau patuhi. Makanlah tikus ini.”

Parkit muda, memandang tikus ragu-ragu, “ Saya harus memakannya?”
“ Ya, harus. Itulah tanggung jawab Rajawali. Memakan buruannya. Tidak boleh membunuh tapi tak memakannya.”

Dengan berat Parkit mencoba mendekati tikus. Paruhnya ia patukkan pada tikus. Ia sangat jijik, ketika berhasil mencabik kulit tikus, ia mencoba menalan dagingnya. Seketika ia muntah. Tubuhnya terkapar di rerumputan sambil berkata pada gurunya,

“ Aku tak bisa Guru. Aku tak sanggup untuk yang satu ini. Aku menyerah…”
Rajawali tersenyum mendengarnya. Lalu dengan tenang ia menaungi tubuh parkit dengan sayap lebarnya sambil berkata,

“ Anakku, sekarang kau tahu kan, bangsa kita punya tugas masing-masing. Tugasku memang menjaga hal-hal yg kau anggap besar dan hebat. Tapi memakan tikus sangat menjijikkan bagimu. Kini engkau menyadari bahwa keluarga Parkit yang kau anggap kurang hebat itu, punya makanan yang lebih terhormat dan nikmat bagi kalian. Walaupun tugas keluargamu adalah menyemangati kami tiap pagi. Tapi lihatlah, semenjak kau tinggalkan tugasmu, semangat bangsa burung tak seperti semula. Tiap kita pasti punya peran. Saranku Parkit muda, lakukan peran dan tugas kita sebaik mungkin, karena di sanalah kita punya arti bagi sesama. Bukan hanya bagi dirimu sendiri.”

 

Dalam pencarian, kita seringkali mendapati kekaguman-kekaguman. Seringkali pesona mendorong kita berbuat sebagaimana kita ingin dikagumi.

Sayangnya kita tak begitu mengenal diri sendiri. Bagaimana potensi, bakat dan minat kita. Sehingga banyak dari kita ingin menjadi orang lain. Padahal tersimpan banyak hal mengagumkan dalam diri kita yang telah ditanam oleh Tuhan sebagai default system.

Pada kenyataannya sedikit sekali dari kita yang berupaya mengetahuinya. Kita cenderung melihat kesuksesan orang lain sebagai satu-satunya cara untuk menjadi bahagia. Mulai dari memilih sekolah, Perguruan Tinggi, serta jurusan. Akhirnya, hal itu terbawa saat kita mencari nafkah hidup. Tak jarang kita temui, bahwa rejeki ada di depan mata. Namun kita memburunya di seberang lautan.

Demikian kelak jika kita mendampingi buah hati kita menemukan hidupnya. Siapa yg tidak menginginkan anak-anak kita bahagia hidupnya kelak. Bahagia itu tak seperti kita “melihat Rajawali”, namun menemukan tugas di dunia ini yang telah ditanamkan oleh Tuhan dalam bentuk #potensi dan #bakat.  

Sukses kita sebagai orang tua adalah, saat anak-anak mensyukuri kita sebagai orang tua mereka. Karena kita telah memfasilitasi mereka untuk hidup dengan bahagia dari #potensi dan #bakatnya.

Selamat mengenali #potensi sobat. Sungguh hal yang menyedihkan jika sampai akhir hayat kita tak tahu Tuhan memberi potensi apa pada diri kita ini.   [adhanglegowo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar